Kamis, 14 April 2011

Bayi Kita, Kultur Kita

Bagaimanakah mengasuh bayi hingga satu tahun ? Mulai dari masa bayi itu dilahirkan, hingga belajar berbicara. Merangkak, sekaligus merespon ruang sekitarnya ? Hingga bisa berjalan ?
Barangkali, itulah treatment yang disodorkan oleh Thomas Balmes, sutradara film Babies (2010). Sebuah film dokumenter, namun mampu membuat  penonton terpesona. Bukan karena bayi itu lucu dan menyenangkan. Tetapi lebih pada, bayi bayi sesungguhnya mewakili diri kita, kultur masyarakat yang membesarkannya.
Adalah Ponijao, seorang bayi yang lahir dari keluarga Namimbia, Afrika. Lalu ada bayi  Mari, asal Jepang, Biyar dari Mongol, dan Hatie yang lahir dari keluarga Amerika. Empak subyek inilah yang diikuti oleh sutradara, sejak lahir hingga beisa berjalan. Penonton akan dibawa secara pararel dengan potongan potongan kisah yang melompat dalam ruang yang berbeda.
Tak pernah terbayangkan, bahwa bayi Ponijao tiba tiba meraih sisa tulang kering dari tanah, yang mungkin sisa makan anjing, lalu memasukannya ke dalam mulutnya. Jijik ? Mungkin, namun itu menjadi hal yang biasa dan sehari hari. Lalu, Mari yang lahir dari keluarga muda Jepang yang sibuk. Mari, dititipkan di sebuah tempat penitipan anak, karena orangtua mereka berkarir. Lantaran keluarga itu tak punya pembantu.
Lalu  Biyar, dari sebuah keluarga Mongol, yang hidup di savanna yang cantik. Orangtuanya adalah pemilik ternak, yang harus membagi perhatian antara ternak dan bayinya. Maka, interaksi Miyar dan ayam, kambing, kucing lebih banyak terlihat. Hatie, adalah bayi asal San Fransisco, yang memang tumbuh dengan ibunya yang di rumah sehingga punya cukup waktu untuk menstimulasi bayinya dengan beragam mainan dan pengetahuan.
Menonton Babies, seperti membuka sebuah pola. Menemui sebuah model : bagaimana sih idealnya mengasuh anak. Akan terdapat banyak pertanyaan yang akan muncul dan seakan penonton akan berada dalam titik yang tak terjawab. Semuanya, bermakna relatif. Penonton, akan diajak untuk memahi secara jujur kultur dari bayi bayi itu. Tak bias sepenuhnya menyalahkan keluarga Afrika, Jepang ataupun Mongolia. Dan seakan penonton dari keluarga perkotaan akan setuju dengan pertumbuhan bayi Hatie. Tak sepenuhnya demikian.
Film yang lahir dari sutradara peraih banyak penghargaan ini, bertutur secara jujur. Sebuah perjalanan untuk meluhat dunia lain. Upaya untuk menyodorkan relativitas nilai. Sebuah upaya yang unik, butuh konsistensi dan kerja keras. Saya yakin Thomas butuh bertahun tahun untuk menghadirkan dramaturgi yang -rasanya- tak terdesain. Sebuah intensitas yang butuh daya tahan.
Namun harus  diakui, bayi adalah sosok yang lucu. Ia menyimpan kejujuran. Bukankah demikian ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar