Jumat, 25 Maret 2011

Perang Nuklir, Sebuah Perayaan Air Mata

Hitomi Kamanaka, seorang sutradara perempuan. Orang yang saya kagumi. Saya terpesona, akan intensitas. Pada kerjakerasnya. Akan kecintaannya, pada profesi : membuat film. Saya bertemu Hitomi Kamanaka, di sebuah festival film, di  12th Earth Vision, Tokyo Film Festival 2003. Film karyanya, sungguh menawan. Judulnya, Hibakusa : At The End of The World. Saya memahami, ketika film Hibakusa  ini meraih penghargaan tertinggi : Grand Prize, sementara film saya The Dream Land, juga meraih Excellence Award.

Saya kagum. Kenapa ? Saya kagum kepada seorang perempuan yang mendedikasikan dirinya, selama lebih dari lima tahun untuk satu judul film: Hibakuka : At The End of The World.   Bukankah ini luar biasa ? Ataukah memang sebuah kewajaran, manakala kita mengerjakan film dokumenter ?

Sebuah percakapan yang intim, akhirnya saya dapat. Hitomi Kamanaka, berkisah.  Ia memulai kerja filmnya, sejak awal tahun 1997, dan akhirnya baru selesai tahun 2002.  Namun, ide awalnya tentang : perang dan bom nuklir telah menganggu dirinya sejak tahun 1990. Lalu, Hitomi tertantang untuk melakukan sebuah perjalanan, di tiga titik kota dari tiga Negara yang berbeda.

Film Hibakusa, menyodorkan tema yang sederhana. Tetapi menjadi luar biasa di tangan Hitomi. Ia melakukan perjalanan di Irak paska Gulf War, Jepang di Hirosima - Nagasaki dan Amerika. Di Iraq, Hitomi hidup dengan warga Iraq, ia menemukan betapa pencemaran yang sangat menakutkan pada wilayah wilayah tempat jatuhnya bom kimia oleh Amerika.

Selepas, tentara pergi, mereka meninggalkan persoalan, ternyata senjata kimia mencemari semua mata air, dan akhirnya melahirkan penyakit : kangker. Pada episode di Iraq, sebuah peristiwa menyentuh ia peroleh. Dan, konon, ia sangat tidak tega. Dalam sebuah frame, seorang anak meninggal, akibat kangker yang ia dapat dari mengkonsumsi air minum.

Masyarakat Jepang yang trauma akan bom nuklir, dan masyarakat Amerika yang bermukin di sekitar reaktor nuklir, menhjadi sebuah potret reflektif. Sebuah cermin, betapa menakutkannya, perang dan segenap senjata pemusnah manusia.

Hitomi dengan fasih bermain puzzle. Ia berdiri dari perspektif korban. Namun sebuah narasi ia sodorkan, sepenting apakah senjata kimia untuk membunuh manusia ?  Pada sisi kreatif, saya sangat terpesona dengan daya tahan. Kemampuan untuk mencintai profesi kemanusiaan dengan membuat film.

Kerja keras yang luar biasa. Hibakusa banyak memperoleh apresiasi. Lebih dari 400 venue telah membuka diri pada penyadaran kolektif yang sehat. Yang terbangun dari film Hibakusa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar